Rabu, 03 Agustus 2011

Birokrasi Indonesia

Politik Birokrasi Indonesia berusaha untuk memberikan pengenalan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang konsep birokrasi, relasi antara birokrasi dengan elemen-elemen dalam sistem politik, serta kinerja dan akuntabilitas birokrasi, termasuk di dalamnya berbagai bentuk penyelewengan yang mungkin dapat dilakukan oleh birokrasi, baik dalam konteks global atau dalam kasus Indonesia. Birokrasi yang seharusnya menjadi pelayan publik dan bertanggungjawab terhadap rakyat lewat lembaga legislatif kadang menjadi lembaga yang tidak terkontrol karena berbagai kelebihan dan kekuatannya. Legislatif bahkan seringkali juga harus kehilangan kendali terhadap birokrasi karena sumber dayanya yang tidak mencukupi untuk mampu mengawasi kinerja birokrasi. Untuk itulah diperlukan lembaga legislatif yang kuat yang didukung dengan seperangkat peraturan yang tegas yang akan cukup membatasi gerak birokrasi. Selain itu partisipasi masyarakat serta voluntary sector dalam mengawasi kinerja birokrasi menjadi suatu hal yang mutlak.

Untuk mampu memahami sepak terjang serta warna dari birokrasi di Indonesia,salah satu birokrasi terkorup di dunia, mahasiswa wajib untuk mengetahui sejarah awal terbentuknya birokrasi di Indonesia, karena bagaimanapun, kultur dan setting sosial birokrasi di Indonesia pada masa lampau akan turut memberikan sumbangannya dalam menciptakan sosok birokrasi Indonesia pada masa sekarang. Berpijak dari titik itu, maka mahasiswa akan mudah untuk memahami langkah-langkah dalam reformasi birokrasi di Indonesia.

Metode kuliah adalah kombinasi antara ceramah, class participation, serta diskusi kasus tentang persoalan dan isu aktual mengenai birokrasi Indonesia kontemporer. Nilai akhir dari mata kuliah ini merupakan akumulasi antara nilai ujian mid semester, nilai ujian akhir, class participation, serta presentasi dari makalah kelompok.

MASALAH-MASALAH BIROKRASI DI INDONESIA


Kegiatan Belajar 1:

Inefisiensi, Nepotisme, dan Korupsi

Banyak orang beranggapan birokrasi sama dengan inefisiensi organisasi. Gejala-gejala atau petunjuk adanya birokrasi antara lain seperti terlalu percaya kepada preseden, kurang inisiatif, penundaan, banyak formulir, serta duplikasi usaha dan departementalisme.
Korupsi dan nepotisme biasanya terdapat pada setiap aktivitas birokrasi dan kebanyakan terjadi di negara sedang berkembang karena memang sedang giat-giatnya membangun.. Korupsi tidak begitu saja terjadi tapi pasti ada penyebabnya seperti berlakunya kewajiban-kewajiban tradisional kepada keluarga, faktor ekonomi, sifat demonstration effect, dan sebagainya sehingga dampak korupsi jelas merugikan masyarakat dan pemerintah.

Kegiatan Belajar 2:

Besarnya Aparat Birokrasi dan Luasnya Tugas Pemerintahan

Gejala umum yang terjadi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah besarnya aparatur birokrasi tetapi kurang memiliki keahlian yang memadai, bekerja kurang produktif dan tidak efisien.
Sebenarnya luasnya tugas birokrasi pada pemerintah sebagai hal yang wajar, hanya perlu diimbangi dengan kemampuan yang memadai dari aparatur birokrasi. Sektor swasta juga belum banyak berperan dalam kegiatan pembangunan sehingga peran pemerintah lebih dominan.

DAFTAR PUSTAKA
Benveniste, Guy. (1992). Birokrasi. Jakarta: Penerbit Rajawali Press.

IROKRASI SEBAGAI SARANA PEMBANGUNAN

MODUL 7: BIROKRASI SEBAGAI SARANA

PEMBANGUNAN
Kegiatan Belajar 1:

Peranan Birokrasi dalam Pembangunan

Peran birokrasi dalam pembangunan merupakan bentuk kajian yang penting. Ada beberapa segi yang penting dalam praktek birokrasi yang berfungsi untuk menunjang pembangunan, yaitu adanya birokrasi sebagai alat integrasi nasional, birokrasi sebagai pelopor pembangunan dan birokrasi sebagai agen sosialisasi politik. Sebagai alat integrasi nasional, praktek birokrasi mempunyai peran yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang. Selain itu terdapat beberapa faktor penentu yang dapat mempengaruhi integrasi nasional. Ketiga peran di atas hanyalah sebagian kecil dari peran birokrasi yang beraneka ragam.
Pelaksanaan birokrasi berhubungan erat dengan perangkat pelaksananya, yaitu para administrator. Mereka memiliki kewenangan untuk menentukan garis-garis kebijakan birokrasi yang didasarkan atas pertimbangan rasional dan pengalaman yang dimilikinya. Hal ini bukan berarti mereka bebas menentukan kebijakan dengan sebesar-besarnya, tetapi mereka hendaknya berpegang pada segi etika yang merupakan pedoman bagi administrator untuk menjalankan roda pembangunan seoptimal mungkin berlandaskan pada nilai-nilai moral yang terkandung dalam etika pembangunan.

Kegiatan Belajar 2:

Birokrasi dan Perkembangan Demokrasi

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang dicita-citakan oleh banyak negara di dunia. Ia menjanjikan keadaan dunia yang lebih baik dan adanya tanggung jawab masyarakat dalam pemerintahan. Birokrasi memiliki berbagai macam dasar moral di dalamnya, yaitu keyakinan akan nilai dan martabat manusia, kebebasan manusia, adanya aturan hukum yang pasti, asas persetujuan (musyawarah), dan prinsip perbaikan (betterment).
Birokrasi adalah media yang dapat berperan dalam pengembangan demokrasi, ia mampu menjembatani kebijakan administratif dari penguasa dengan aspirasi rakyat. Dalam praktek birokrasi dapat menimbulkan keadaan yang demokratis maupun anti demokrasi, tergantung kepada sifat keterbukaan atau ketertutupan birokrasi itu sendiri. Semakin terbuka birokrasi maka kadar demokrasi semakin meningkat, demikian sebaliknya.
Sumber dari adanya birokrasi salah satunya adalah adanya prinsip demokrasi. Oleh karena itu, sebenarnya tidak terdapat kontradiksi yang mutlak antara birokrasi dengan demokrasi. Birokrasi dianggap mempunyai peran yang penting dalam dunia modern. Ia dapat berperan sebagai alat untuk memperluas praktek demokrasi.

Kegiatan Belajar 3:

Pembinaan Karier dan Etika Birokrasi Pemerintahan

Pembinaan karier dalam birokrasi pemerintahan ditujukan guna menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu, diperlukan pembinaan aparat birokrasi sebagai unsur aparatur negara yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih, berwibawa, bermutu tinggi dan sadar akan tanggung jawabnya. Dalam hubungan ini Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974, telah meletakkan landasan yang kokoh untuk mewujudkan pegawai negeri seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur kedudukan, kewajiban, hak pembinaan pegawai negeri sebagai salah satu kebijaksanaan dan langkah usaha penyempurnaan aparatur negara di bidang pemerintahan.
Untuk mendorong prestasi pegawai negeri, mereka diberi penghargaan dalam bentuk kenaikan pangkat, penempatan pada jabatan tertentu dan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengalaman maupun kemampuan seorang pegawai negeri.

DAFTAR PUSTAKA
Braam, P.A. Geert. (2001). Sosiologi Pemerintahan. Terjemahan JRG. Djopari. Jakarta: Institut Ilmu Pemerintahan.

BIROKRASI DAN PERUBAHAN SOSIAL

MODUL 6: BIROKRASI DAN PERUBAHAN SOSIAL
Kegiatan Belajar 1:

Perubahan Sosial

Keadaan suatu masyarakat tidak pernah tetap akan tetapi akan selalu ada perubahan baik lambat maupun cepat dan sebaliknya, gejala yang tetap dari suatu masyarakat adalah perubahan.
Perubahan sosial dalam suatu masyarakat modern dapat terjadi secara spontan, namun dalam penerapan suatu kebijakan sosial yang baru peranan birokrasi sangat dominan. Faktor penyebab perubahan sosial dapat berasal dari dalam masyarakat itu sendiri (intern) serta dari luar (ekstern).

Kegiatan Belajar 2:

Birokrasi dan Perubahan Sosial

Pada periode kemerdekaan, terjadi perubahan yang mendasar di mana pola perilaku birokrasi pemerintah dikritik karena dianggap tidak demokrasi atau feodalistik. Keinginan untuk menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintah sebagai sesuatu yang sangat dihormati sudah mulai berkurang.
Pada masa demokrasi terpimpin, pelaksanaan nasionalisasi perusahaan asing mengalami salah urus dan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi para birokrat. Birokrasi menekan lembaga atau organisasi non-pemerintah yang berusaha mengkritiknya.
Peran yang kuat dari birokrasi dalam pembangunan ekonomi akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan seperti misalnya di bidang teknologi baru, perubahan kelembagaan atau sikap pemerintah menyangkut prioritas pembangunan.

DAFTAR PUSTAKA
Pada periode kemerdekaan, terjadi perubahan yang mendasar di mana pola perilaku birokrasi pemerintah dikritik karena dianggap tidak demokrasi atau feodalistik. Keinginan untuk menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintah sebagai sesuatu yang sangat dihormati sudah mulai berkurang.
Pada masa demokrasi terpimpin, pelaksanaan nasionalisasi perusahaan asing mengalami salah urus dan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi para birokrat. Birokrasi menekan lembaga atau organisasi non-pemerintah yang berusaha mengkritiknya.
Peran yang kuat dari birokrasi dalam pembangunan ekonomi akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan seperti misalnya di bidang teknologi baru, perubahan kelembagaan atau sikap pemerintah menyangkut prioritas pembangunan.

Pengertian Kelompok Strategis

Pengertian Kelompok Strategis

Ciri-ciri kelompok strategis dikenali pada kecenderungannya, yaitu menguatkan dan mengembangkan hasil pengambilalihan di satu pihak, serta memusatkan sasaran pengambilalihan kepada sarana produksi, sarana kekuasaan dan nilai-nilai, atau dengan kata lain kepentingan ekonomi kekuasaan, di pihak yang lain. Kelompok strategis ini terbentuk dalam suatu tindakan individu-individu yang diikat oleh kepentingan-kepentingan bersama, yaitu melaksanakan pengambilalihan hasil-hasil tersebut di atas, dalam suatu sistem politik tertentu. Ada dua acuan pokok kegiatan kelompok strategis yaitu, hibridisasi dan koalisi. Selanjutnya tanggung jawab analisis kelompok strategis meliputi, baik struktur intern suatu kelompok masyarakat, maupun proses terjadi, tumbuh dan hancurnya suatu kelompok strategis. Kemudian pemeriksaan kegiatan kelompok strategis ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan data pertumbuhan, memisahkan mana yang merupakan kebetulan dan mana yang merupakan petunjuk keberhasilan atau kegagalan tindakan kelompok, serta perbandingan tipe-tipe kelompok strategis.

Kegiatan Belajar 2:

Tindakan Strategis dan Dinamika Masyarakat

Masyarakat yang kuat terus-menerus memperbaiki diri. Masyarakat demikian cenderung memelihara kepekaan dalam mengenali dirinya, pertama sebagai pencapaian, setelah itu sebagai sisa-sisa masa lalu yang harus diperbaiki dan akhirnya, sebagai hasil evaluasi terhadap pencapaian masa lalu beserta hasil penolakan terhadapnya, dalam kesadaran yang lebih tinggi tingkatnya. Beberapa faktor menguatkan kelompok masyarakat termasuk norma-norma dan adat istiadat, beberapa lagi membongkarnya termasuk harapan untuk melakukan perbaikan. Ada proses perubahan yang terjadi secara kebetulan, tetapi suatu rencana perubahan dapat dibuat dengan sengaja oleh para pejuang atau penyelenggara perubahan. Di pihak yang lain adat istiadat dan norma-norma dapat masuk dalam jajaran penghambat perubahan, sedangkan cita-cita, harapan dan rencana ke depan menjadi perangsang untuk mempercepatnya. Ancaman serta pengaruh dari luar dapat pula menghambat atau memperlancar suatu perubahan. Kemudian suatu tindakan selalu didahului oleh putusan strategis yang telah masak dipertimbangkan sebelumnya. Tindakan strategis agaknya menjadi jalan keluar evolusioner dalam kemapanan suatu masyarakat

Kegiatan Belajar 3

Birokrasi sebagai Lalu Lintas Tindakan Kelompok Strategis

Sejalan dengan perkembangan kapitalisme, muncul birokrasi dalam lingkungan administrasi pemerintahan. Birokrasi adalah tipe kekuasaan legal yang paling murni. Dalam birokrasi ketergantungan pribadi lenyap, digantikan oleh peraturan-peraturan berdasarkan undang-undang. Norma-norma merupakan sumber kekuasaan birokrasi. Di pihak lain kekuasaan politik dalam birokrasi tidak langsung merupakan kekuasaan ekonomi, sekalipun dapat saling pengaruh mempengaruhi. Keterpisahan fungsi-fungsi umum negara dari kekuasaan-kekuasaan pribadi penguasa feodal merupakan kenyataan yang sangat penting dalam kerangka kerja kelompok-kelompok strategis. Dengan ini kegiatan kelompok strategis tidak perlu berurusan dengan kepentingan-kepentingan pribadi lagi, melainkan dengan birokrasi yang lebih netral, dapat diperhitungkan dan diandalkan tindakannya. Dalam administrasi pemerintahan kolonial birokrasi dicemari dengan diletakkannya kegiatan pemerintahan di bawah kepentingan ekonomi kapitalis.

DAFTAR PUSTAKA
Benveniste, Guy. (1992). Birokrasi. Jakarta: Penerbit Rajawali Press.

BIROKRASI MASA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

BIROKRASI MASA PEMERINTAHAN HINDIA
BELANDA

Kegiatan Belajar 1:

Hubungan Pangreh Praja dengan Binnenlandsch Bestuur (BB)

Tidak semua orang dapat menduduki jabatan sebagai pangreh praja sehingga seseorang perlu magang (pengabdian yang belum digaji) kepada seorang priyayi atasan/pejabat. Dari magang tersebut terjadi hubungan patron-klien, di mana para pemagang akan sabar menunggu sampai diangkat sebagai pangreh praja di mana kalau perlu mereka akan menjilat, cari muka, dan sebagainya. Jika oleh priyayi atau atasan dinilai para pemagang itu tidak pantas jadi priyayi, ya tidak akan diangkat.
Dalam hubungan bawahan-atasan/priyayi maka tampak ada penghormatan yang berlebihan, misalnya jika priyayi rendahan berkunjung ke pejabat yang lebih tinggi maka harus pakai pakaian adat, sendalnya dilepas, dan sebagainya. Atribut kepangkatan sangat ditonjolkan, misalnya berkunjung ke suatu tempat disertai pengiring lengkap dengan payungnya.
Lambat laun banyak priyayi muda yang mendapatkan pendidikan lebih baik walaupun dengan didikan ala Eropa, misalnya tinggal bersama keluarga Eropa murni, sekolah di sekolah Belanda. Walaupun ada ketakutan dari pihak Belanda tentang pejabat pribumi yang terlalu maju sehingga akan berani dengan pejabat Belanda.

Kegiatan Belajar 2:

Perubahan-perubahan yang Dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda terhadap Birokrasi Tradisional

Mulai akhir abad ke-19, sudah muncul adanya kesadaran mengenai pola hubungan antara rakyat biasa dan priyayi atau antara pangreh praja dengan Binnenlandsch Besturr (BB) yang lebih baik, dengan lebih memfungsikan pejabat sebagai pemimpin rakyat.
Pemuda pribumi pada akhir abad ke-19 tersebut sudah mulai mendapat pendidikan ala Eropa yang memadai, seperti Diperbolehkannya kaum pribumi sekolah di ELS, HBS, dan sebagainya. Tujuan kolonial Belanda dengan memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk mendapatkan pendidikan ala Eropa adalah agar mulai lebih dapat membantu kepentingan Belanda dalam penjajahan di Indonesia di mana pada akhirnya malah memusingkan Hindia Belanda sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Sutherland, Heather. (1983). Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.

Birokrasi Masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit

MODUL 3: BIROKRASI DI INDONESIA MASA KERAJAAN
TRADISIONAL

Kegiatan Belajar 1:

Birokrasi Masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit

Pada masa Kerajaan Sriwijaya, sudah dikenal konsep birokrasi serta pembagian tugas. Namun demikian raja masih dianggap yang paling berkuasa dan menentukan segala kekuasaan secara mutlak masih berada di tangan raja.
Struktur pemerintahan Kerajaan Majapahit terdiri dari pemerintah pusat dan daerah. Masing-masing kerajaan daerah diberi otonomi penuh dan memiliki perangkat pemerintahan yang lengkap, namun terdapat kewajiban-kewajiban tertentu kepada pemerintah.

Kegiatan Belajar 2:

Birokrasi pada Masa Kerajaan Kutai dan Mataram

Kerajaan Kutai Kertanegara ing Martapura merupakan gabungan antara kerajaan Kertanegara dan Kutai Martapura Keman (Mulawarman). Punggawa diserahi tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah, di mana pengawasannya ditugaskan kepada Menteri. Sifat pemerintahan tetap sentralistis dan terpusat di tangan raja.
Sedangkan pada masa Kerajaan Mataram, raja dibantu oleh seorang Patih dan para penasihat. Birokrasi pemerintahan diserahkan kepada Wedana, untuk mengawasi masalah keraton, baik yang menyangkut keuangan, keprajuritan, dan pengadilan. Untuk mempertahankan kekuasaannya, raja Mataram menggunakan cara kekuasaan, memaksa orang-orang kuat untuk tinggal di keraton, dan cara perkawinan.

DAFTAR PUSTAKA
Moertono, Sumarsaid. (1985). Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lalu. Jakarta: Yayasan Obor.

Suwarno, O.J. (1989). Sejarah Birokrasi Pemerintahan Indonesia Dahulu dan Sekarang. Yogyakarta: Universitas Atmajaya.

b p

Budaya birokrasi patrimonial merupakan suatu gejala budaya yang sulit dipisahkan dengan birokrasi Indonesia. Ia merupakan suatu hasil proses sejarah, tradisi, dari zaman kerajaan tradisional, kekuasaan kolonial dan birokrasi Indonesia kontemporer. Gejala birokrasi patrimonial tampak pada munculnya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang turut menentukan jalannya rekruitmen jabatan birokrasi. Jabatan-jabatan birokrasi lebih banyak ditentukan oleh kecerdikan orang tersebut berhubungan dengan pemegang jabatan di tingkat atas. Kenaikan jabatan lebih banyak ditentukan oleh faktor seperti kawan lama, hubungan darah, perkawinan, kesamaan etnis dan persamaan keanggotaan politik. Demikianlah birokrasi Indonesia walaupun secara struktural telah diadakan perubahan-perubahan dalam rangka menuju birokrasi yang bertipe legal rasional namun secara cultural nilai-nilai birokrasi tradisional masih tetap eksis mewarnai birokrasi pemerintahan dalam berbagai ekspresi yang baru.

patrimonial

B.Birokrasi Patrimonial.

Terminologi patrimonial adalah konsep antropologi yang secara nominatif berasal kata dari patir dan secara genetif berasal ari kata patris yang berarti Bapak. Konsep yang dikembangkan dari kata tersebut kemudian diterjemahkan secara lebih luas yakni menjadi warisan dari bapak atau nenek moyang. Kata sifat dari konsep tersebut adalah patrimonial yang berarti sistem pewarisan menurut garis bapak. Menurut The Consolidated Webster Encyclopedia Dictionary dalam Moedjanto (1998:101) menuraikan bahwa dalam perkembangan lebih lanjut, konsep tersebut mengandung pengertian yakni sistem pewarisan nenek moyang yang mementingkan laki-laki atau perempuan dengan perbandingan yang dua lawan satu.

Disamping birokrasi rasional yang dipelopori oleh Max Weber. Schrool (1980:167) yakni seorang pakar modernisasi dunia berkembang membedakan jenis birokrasi menjadi birokrasi modern dengan patrimonial. Jika pada birokrasi rasional lebih menitikberatkan pada unsur prestasi, maka pada birokrasi patrimonial justru sebaliknya, yakni menekankan pada ikatan-ikatan patrimonial (patrimonial ties) yang menganggap serta menggunakan administrasi sebagai urusan pribadi dan kelompok. Secara lebih tegas, Weber sebagaimana yang dikemukakan oleh Santoso (1997:22) menegaskan bahwa dalam birokrasi patrimonial, individu-individu dan golongan penguasa berupaya mengontrol kekuasaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan kekuasaanya. Selain itu, ciri daripada birokrasi patrimonial disebutkan bahwa:

i). Pejabat-pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi dan politik, ii) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan atau keuntungan, iii) pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik maupun administratif karena tidak ada pemisahan antara sarana-sarana produksi dan administrasi, iv) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Tujuan-tujuan pribadi penguasa merupakan hal yang pokok dalam sepak terjang pemerintahan kendatipun mereka dibatasi oleh fungsi-fungsi sebagai seorang pemimpim.”(Weber dalam santoso, 1997:23).

Dalam perkembangannya kemudian, Maquet (1961) sebagaimana yang disebut Balandier (1970-95) mengemukakan bahwa:

”for Maquet feudality is not a mode of production (although a way defening the role of goverment and governed. The specific is the fact is the interpersonal link: feudal institution set up between two person unequal in power relation of protection on the one hand and fidetity and service on the other. They link the lord with the vassal (at the higer level of social satisfication) and the patron with the client (from a higer to a lower level of satisfication)”

Pendapat Maquet sebagaimana yang dikemukakan oleh Balandier (1970:95) bahwa feodalitas bukan merupakan sebuah cara produksi, tetapi sebuah rezim politik yakni cara untuk mendefenisikan antara yang memerintah dan diperintah. Pranata feudal ini disusun antara dua orang yang tak setara dalam hubungan politik pada landasan perlindungan disatu pihak serta kesetiaan dan pelayanan pada pihak lain. Hubungan tersebut mempertautkan hubungan patron klien (patron and client) dari tingkat yang paling tinggi hingga paling rendah pada stratifikasi tersebut.

Birokrasi Representatif sumber http://setabasri01.blogspot.com/2009/08/birokrasi-representatif.html

Konsep birokrasi representatif ini dibicarakan dalam konteks pola rekrutmen seseorang ke dalam posisi administrasi publik, utamanya pada masalah samanya kesempatan dan keterwakilan suatu populasi penduduk di dalam birokrasi. Jadi, bagaimana birokrasi mewakili karakteristik populasi dalam kaitannya sebagai administrator kebijakan, merupakan pertanyaan dasarnya. Sejumlah skolar menekankan pentingnya merit dalam pola rekrutmen administrator publik, lainnya menekankan pada pentingnya mengangkat birokrat publik yang unsur sosial dan ekonominya melukiskan karakter masyarakat di suatu wilayah.

Penulis lain semisal Sally Coleman Selden menyinggung masalah pentingnya Birokrasi Representatif ini dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik. Selden berargumentasi bahwa pejabat yang terpilih lewat Pemilu akan menduduki jabatan administrator tingkat puncak semisal Presiden, Menteri, Kepala Daerah, yang pada gilirannya mereka mengatur aneka organisasi yang pekerjanya adalah pelayan publik (birokrat). Dalam konteks pelayan publik ini terdapat suatu sistem personil yang aturannya “melindungi” mereka dari tekanan politik. Mereka terhindar dari tekanan politik akibat posisinya diperoleh lewat merit-system (Tes CPNS, misalnya) bukan dipilih lewat Pemilu.

Birokrasi Representatif menjadi signifikan akibat munculnya sejumlah faktor pendorong. Faktor-faktor pendorong ini meliputi :
  1. Peningkatan keragaman etnik, rasial, dan gerontology di suatu masyarakat.

  2. Peningkatan keragaman lahan kerja berdasarkan gender,

  3. Perkembangan kesaling bergantungan komunitas global, yang mendorong keragaman pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi atas perbedaan manusia, dan

  4. Peningkatan keragaman teknologi dibalik distribusi barang dan jasa public.

Pertama. Birokrasi Representatif adalah keterwakilan yang berkenaan dengan asal-usul seorang birokrat yang secara kolektif mencerminkan keseluruhan masyarakat.

Kedua. Birokrasi Representatif merupakan “mirror” dari Political Representative. Hanya saja, keterwakilan birokrasi ini ada di aras impelementasi kebijakan publik sebagai operasionalisasi dari undang-undang.

Ketiga. Birokrasi Representatif mengacu pada keterwakilan latar belakang populasi penikmat layanan publik (masyarakat) yang tercermin pada latar belakang yang sama di tingkat birokrat publik di suatu region tempat beroperasinya birokrat publik, dalam mana latar belakang ini meliputi etnis, ras, gender, agama, tingkat pendidikan, dan sejenisnya.

Keempat. Studi Birokrasi Representatif berkisar pada konsep Representasi Pasif dan Representasi Aktif. Representasi Pasif adalah representasi di mana para birokrasi mencerminkan latar belakang populasi tempat ia berbakti, Representasi Aktif adalah tatkala latar belakang yang sama tersebut membuat para birokrat membuat dan melaksanakan peraturan yang sensitif terhadap publik yang latar belakannya ia cerminkan itu.

martin birokrasi

Konsep Birokrasi Martin Albrow


Martin Albrow adalah sosiolog dari Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan para ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan beberapa konsepsinya seputar birokrasi.

Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa guna menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern. Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah :

1.Birokrasi sebagai organisasi rasional

Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur secara pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti menurut hipotesis yang diangkat.

Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi juga mengacu pada mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu pada susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuan-tujuan organisasi.

Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yang di dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”

2.Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi

Birokrasi merupakan antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan kretivitas manajerianl. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi dalam organisasi-organisasi besar.

Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibuat sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme. Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya dengan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan di dalam birokrasi cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri sendiri.

3.Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.

Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang profesional. Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan sesuatu. Juga, seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat.

4.Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)

Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi merupakan sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan jasa dalam suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan.

5.Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat.

Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf administrasi yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting. Staf-staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai administrasi.

6.Birokrasi sebagai suatu organisasi

Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern. Suatu organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang sudah disebut.

7.Birokrasi sebagai masyarakat modern

Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan modern.

weber birokrasi

Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi.
Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.
Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu :

  1. tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
  2. tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi;
  3. jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint);
  4. aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan;
  5. anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi;
  6. pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
  7. administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan
  8. sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokra
  1. Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.

  2. Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.

  3. Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi selama pelaksanaan tugas tersebut.

  4. Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.

  5. Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.

Philip Selznick. Selznick mengutarakan kritiknya atas Weber tentang Disfungsionalisasi Birokrasi. Ia fokus pada pembagian fungsi-fungsi did alam suatu organisasi. Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan tujuan organisasi secara keseluruhan. Pembentukan departemen-departemen baru untuk meniadakan kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi karena akan muncul lebih banyak sub-sub unit tujuan.
Birokrasi menurut Martin Albrow digunakan sejak tahun 1745 oleh Vincent de Gounnay untuk menerangkan pemerintahan Prusia. Birokrasi lahir tepat pada waktunya, tatkala pemeliharaan ketertiban dan ketenteraman dan kemudian upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan menempati prioritas pertama. Penerangan konsep ini berlangsung secara luas dan berkembang di negara industri di Eropa dan Amerika. Birokrasi yang secara etimologis berarti 'kekuasaan di belakang meja' atau meminjam definisi Lance Castle adalah "orang-orang digaji yang berfungsi dalam pemerintahan". Dalam kacamata awam birokrasi adalah aparat pemerintah (pegawai negeri), yang dalam jargon Korpri sebagai abdi negara (yang melayani negara) bukan sebagai abdi rakyat (civil servant) yang melayani masyarakat. Birokrasi juga dapat diartikan sebagai government by bureaus, yaitu pemerintahan biro oleh personil yang diangkat oleh penguasa. Kadangkala birokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang kaku, macet, dan segala tuduhan yang negatif terhadap instansi yang berkuasa (red tape).
Tuh mnrut buku sih, huuh cape