Kamis, 29 Desember 2011

tono

SENGKETA LAHAN WARGA PULAU PADANG KABUPATEN MERANTI

A. Pendahuluan

Pada negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi sangat penting karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan. Paling sedikit ada tiga kebutuhan dasar manusia yang tergantung pada tanah. Pertama, tanah sebagai sumber ekonomi guna menunjang kehidupan. Kedua, tanah sebagai tempat mendirikan rumah untuk tempat tinggal. Ketiga, tanah sebagai kuburan. Walapun tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, tetapi struktur kepemilikan tanah di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu sumber utama destabilisasi politik.

Tanah dan pola pemilikannya bagimasyarakat pedesaan merupakan faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masing-masing warga desa itu sendiri. Negara agraris yang mengalami pola pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses pembangunan yang lamban, terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis motivasi dan kepercayaan diri untuk membangun diri mereka sendiri. Pada bagian lain, ketimpangan pemilikan tanah yang memperlihatkan secara kontras kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi konflik yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyaralat itu. Hal tersebut sukar dihindarkan karena tanah selain merupakan aset ekonomi bagi pemiliknya juga merupakan aset politik bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka yang tidak memiliki tanah akan mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni kemiskinan ekonomi dan kemiskinan politik.

Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah berusaha untuk menjamin adanya pemerataan pemilikan tanah di Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1960, serta melalui program transmigrasi. Melalui program transmigrasitersebut, pemerintah memberi kesempatan kepada petani miskin di Jawa,

Bali dan Lombok untuk memiliki sebidang tanah, tetapi dalam perkembangannya, masalah yang muncul bukan lagi bagaimana si miskin memperoleh tanah, tetapi bagaimana si pemilik tanah mempertahankan hak miliknya dari usaha-usaha pemilik modal yang akan mengambilnya.

B.Sifat Permasalahan tanah di Indonesia

Apabila dicermati, sifat permasalahan tanah di Indonesia antara dekade setelah kemerdekaan hingga akhir 1960-an; dekade 1980 hingga akhir Orde Baru serta Pasca Orde Baru terdapat perbedaan, baik yang terkait dengan permasalahan tanah itu sendiri maupun posisi atau peran pemerintah di dalamnya. Dekade setelah kemerdekaan hingga 1960-an, persoalan pertanahan adalah masalah yang lebih banyak terjadi di lingkungan pedesaan yang dipicu oleh pola hubungan patron-client antara petani pemilik tanah yang biasanya memiliki lahan yang sangat luas dengan petani gurem dan buruh tani. Konflik tersebut terfokus pada masalah akses seseorang terhadap tanah, atau dikenal juga dengan istilah ”land hunger”. Tetapi lapar tanah (land hunger) pada era ini bagi mayoritas rakyat miskin lebih karena urusan perut (pemenuhan kebutuhan konsumsi), sedang bagi tuan tanah sudah mencakup status sosial.

Peran pemerintah dalam konflik tanah di pedesaan dalam kontek hubungan patron-client tersebut, masih cukup netral dan bukan sebagai pihak yang tersangkut dalam persoalan itu. Hal tersebut disebabkan karena pola kekuasaan era Orde Lama cenderung pada pembangunan bangsa (nation building) dalam kontek politik, dan belum menjadikan tanah sebagai bagian kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Dekade 1980-hingga akhir Orde Baru, permasalahan tanah berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau pemerintah melawan pemilik tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa. Isu yang memicu konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang atas sebidang tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang seharusnya diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. Pada dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian Orde Baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah-tanah rakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan pelindung kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya, menekan rekyat melindungi pemilik modal. ebagai pembeli tanah, pemerintah memang berbeda dengan pembeli tanah biasa, karena mempunyai kekuatan memaksakan kehendaknya, baikmelalui aparatnya, maupun hukum yang menyatakan bahwa negara adalah pemilik semua tanah di negeri ini, dan dengan demikian berhak untuk ”membebaskan” tanah yang dimiliki oleh warganya untuk kepentingan umum.1 Dengan demikian, pola konflik agraria (tanah) yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru adalah konflik struktural. Disebut demikian karena terjadinya konflik akibat kebijakan pemerintah, dan yang berkonflik bukan antar rakyat dengan rakyat, tetapi rakyat versus pengusaha, rakyat versus pemerintah termasuk BUMN. Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Database KPA mencatat setidaknya ada 1.753 kasus sengketa tanah atau konflik agraria.

C Perubahan Pola Konflik & Dampaknya Pada Masyarakat Adat

Perubahan pola konflik tanah yang muncul awal dekade 1980-andisebabkan oleh dua hal. Pertama, perubahan sifat proyek pembangunanIndonesia dari proyek perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyatmegaproyek yang bertujuan meningkatkan kemampuan ekspor Indonesiasamping munculnya megaproyek, pembangunan juga membawa apa ydisebut dengan ”proyek pembangunan konsumtif” untuk memenuhi kehidukonsumstif kaum elite perkotaan, seperti pembangunan padang gperumahan mewah, super market, dan sebagainya. Perubahan menyebabkan pembangunan di Indonesia terjangkit penyakit ”land hundalam skala yang luas. Ribuan hektar tanah, tidak terkecuali tanah-taNAH pertanian potensial yang merupakan tulang punggung kelestarian progswasembada pangan di Indonesia dirubah fungsi menjadi lapembangunan proyek konsumtif dimaksud.

D Konflik pertanahan di Provinsi Riau-sebuah analisis

Pelanggaran terhadap Kriteria Kawasan Bergambut

Aturan yang menjelaskan tentang pengelolaan kawasan bergambut diantaranya Kepres 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan lindung dan PP 26 tahun 2008 tentang Rencana tata ruang Wilayah Nasional (Pengganti PP 47 tahun 1997). Kriteria kawasan lindung gambut ditetapkan pada kedalaman 3 meter atau lebih

Tabel 1 Kedalaman Gambut

No

Kedalaman Gambut

Luas (ha)

%

Peruntukan Pola Ruang

1

2 Sampai 4 Meter

18.370

97.25%

Dilakukan pengukuran detail

2

1 Sampai 2 Meter

318

1.68%

Boleh dibudidayakan

3

Tanah Mineral

152

0.80%

Budidaya

4

Perairan

50

0.26%

Budidaya

Jumlah

18890

100.00%





Sumber: Analisis Kabut Riau 2009

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kawasan yang boleh dibudidayakan adalah seluas 520 ha atau 2,75 % sedangkan 18 370 ha lainnya atau 97,25 ha harus dilakukan riset tentang kedalaman gambut lebih detail terlebih dahulu untuk membedakan gambut dengan kedalaman 2-3 meter dan 3-4 meter. Kemudian baru bisa ditetapkan kawasan yang boleh dibudidayakan atau dijadikan kawasan lindung.


Beberapa Alasan Kawasan gambut dalam harus dilindungi diantaranya:

  • Subsidence rata rata gambut di indonesia 2-4 cm per tahun
  • Berat jenis yang rendah sehingga mudah ter erosi dan mengapung dibawa air
  • Memiliki kapasitas penahan air yang tinggi (menahan air di musim hujan dan melepaskan air di musim kemarau)
  • Kering tak balik membuat lapisan gambut mudah terbakar (pada kawasan gambut yang dikanalisasi)

· 2. Pelanggaran Terhadap TGHK
Tabel 2 Tata Guna Hutan Kesepakatan

No

TGHK

Luas (ha)

%

Pola Pengelolaan

1

Hutan Produksi Terbatas (HPT)

8430

44.63%

Sistim Tebang Pilih

2

Hutan Produksi Yang Dapat Di Konvesi (HPK)

10460

55.37%

Bisa dikonversi menjadi Perkebunan

3

Hutan Produksi

0

0

Diperbolehkan Pola Tebang habis permudaan Buatan (TPHB)

Jumlah

18890

100.00%


Sumber: Analisis Kabut Riau 2009

Berdasarkan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (Kepmen 137 tahun 1986) pada kawasan ini tidak diperbolehkan dibangun Hutan Tanaman Industri (HTI).Secara spesifik Pola HTI hanya boleh dibangun pada Kawasan Hutan Produksi. Sedangkan pada Kawasan Hutan Produksi Terbatas pengelolaan yang dilakukan adalah dengan metoda Selectif Cutting (Tebang Pilih), contoh pengelolaan sistim ini adalah pola HPH. Sedangkan Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) diperuntukkan untuk pengelolaan non kehutanan seperti Perkebunan dan pertanian.

Dalam hal ini jelas terlihat bahwa Mentri kehutanan telah melanggar Kepmen 137 tahun 1986 tentang TGHK. Untuk itu ada peluang pembatalan izin melalui PTUN??? dan dapat diduga proses perizinan yang dikeluarkan pada kawasan ini dapat diduga memiliki unsur korupsi (pihak yang patut diduga terlibat dinas kehutanan kabupaten, dinas kehutanan provinsi dan badan planologi kehutanan). Serta perlu diselidiki mekanisme pengeluaran izin dan mekanisme pembuatan amdal di kawasan ini (komisi amdal daerah).

3. Pelanggaran Terhadap Perda No 10 Tahun 1994
Tabel 3. Perda No 10 Tahun 1994

No

RTRWP

Luas (ha)

%

1

APK Kehutanan

8711

46.11%

2

APK Perkebunan

705

3.73%

3

Kawasan Lindung

9474

50.15%

Jumlah

18890

100.00%

Sumber: Analisis Kabut Riau 2009

Dari Perda No 10 tahun 1994 yang diperbolehkan untuk HTI hanya pada APK kehutanan seluas 8.711 ha atau 46,11 % dari total luas kawasan. Sedangkan 9.474 ha atau 50,15% diantaranya dieruntukkan sebagai kawasan lindung dan 705 ha atau 3,73% kawasan perkebunan.

Untuk itu BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah) seharusnya meminta BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional) agar melakukan evaluasi terhadap Izin yang dikeluarkan oleh mentri kehutanan agar menghormati Rencana tata Ruang Provinsi serta memerintahkan mentri kehutanan mengeluarkan kawasan lindung dan kawasan perkebunan dari Izin HTI yang sudah diberikan.

DAFTAR PUSTAKA\

http://tani-riau.blogspot.com/

http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr=40597

http://kafeilmu.com/tema/makalah-kasus-sengketa-tanah.html

Soetikno,Iman.Politik Agraria Nasional.UGM PRESS..Yogayakarta:1982

Tidak ada komentar:

Posting Komentar